Masya Allah Laa Quwwata illa Billah



Oleh: Imam Safii

Bak kisah seekor anak ayam yang kebingungan dan sangat memprihatinkan karena ditinggal induknya mencari makanan. Setidaknya gambaran semacam itulah yang paling pas untuk mengilustrasikan bagaimana suasana hatiku saat pertama kali menginjakkan kaki di sebuah tempat yang kemudian hari aku kenal dengan nama Pondok Pesantren. Maka tidak heran jika sebagian orang menempelkan kalimat “penjara suci” untuk sebutan lembaga pendidikan yang didesain berkamar-kamar hampir mirip sel tahanan ini. Lebih-lebih bagi santri baru yang sebelumnya belum pernah merasakan tinggal jauh dari orang tua. Seperti aku, saat pertama kali mengenal Pondok Pesantren dan menghabiskan hari-hariku dalam lingkaran baru yang sama sekali asing bagiku.
Hari itu pandanganku tertuju pada satu tulisan yang asing bagiku. Tulisan itu adalah Masya Allah Laa Quwwata illa Billah. Aku banyak melihat tulisan itu di lingkungan pondok pesantren al-Midroor, tempat aku mondok. Baik di kaca mobilnya pak Kyai, di atas pintu dan barang-barang lainnya, ada yang kaligrafi, ada juga yang tulisan biasa.
Beberapa lama aku bertanya-tanya, tulisan apa itu? Apakah hanya sekedar hiasan? Tapi rasanya tidak mungkin, hiasan kok ada di banyak tempat? Ya, itulah yang ada di pikiranku ketika pertama kali masuk pesantren al-Midroor.
Seiring berjalannya waktu, aku mencari tahu tentang tulisan itu, berasal dari mana, apakah ada maksudnya kok tulisan itu banyak ditempelkan di barang barang dan terpampang di lingkungan pesantren. Sebelumnya aku tidak pernah melihat tulisan itu di tempat lain.
Terbesit dalam pikiranku untuk bertanya ke teman-teman santri lainnya, tapi perasaan malu menghalangiku. Aku pun membatalkan niatku untuk bertanya. Maklum aku masih santri baru di lingkungan pesantren ini, masih canggung untuk bertanya. Kalau tulisan bismillah atau laa ilaha illa Allah sudah sering aku lihat menjadi pajangan di kaca mobil atau di pintu-pintu rumah.

***

Permasalahan yang menggantung dalam pikiran seringkali kita dapatkan jawaban atau jalan keluarnya dari taklim yang kita ikuti. Ini sedikit aneh, tetapi sudah banyak jamaah yang mengalami hal itu. Taklim yang biasanya berupa kajian dari seorang ustadz kepada hadirin tentang topik dalam kitab tertentu itu seringkali tanpa sadar membahas permasalahan yang tengah kita hadapi.
Demikian juga denganku hari itu. Aku mengikuti taklim di lingkungan al-Midroor yang biasa dilakukan di akhir pekan setiap minggu. Aku duduk berbaris rapi seperti biasa bersama teman teman santri lainnya, juga jama’ah lain yang hadir. Taklim hari itu diisi oleh K.H. Ihya’ Ulumiddin, khadimul ma’had Nurul Haromain, Pujon.
Setelah kajian berlalu beberapa saat, di tengah-tengah ceramahnya, Abina –sapaan akrab kepada beliau K.H. Ihya Ulumiddin—sempat menyampaikan tentang tulisan yang sedang berkecamuk dalam pikiranku. Aku pun lebih bersemangat memasang telinga baik-baik untuk mencermatinya, karena besarnya rasa keingintahuanku tentang tulisan itu telah menggelayutiku berhari-hari.
Beliau berkata “Nek due barang anyar, usapen sambil moco Masya Allah Laa Quwwata illa Billah” (Ketika kita memiliki barang baru, usaplah sambil mengucapkan Masya Allah Laa Quwwata illa Billah). Untuk apa? Ini adalah untaian doa, agar barang yang kita miliki tersebut dijaga oleh Allah untuk kita dan berguna dengan baik bagi kita.
Tulisan Masya Allah Laa Quwwata illa Billah merupakan potongan Q.S. al-Kahfi ayat 39 yang artinya: “Sungguh atas kehendak Allah semua ini terjadi, dan tidak ada kekuatan kecuali atas pertolongan Allah.
Aku mengangguk-angguk sendiri. Tulisan tersebut ternyata mengandung manfaat bagi kita, tidak hanya sekedar tulisan biasa. Ternyata sumbernya dari Al-Quran. sedikit terjawab rasa penasaranku dengan tulisan yang seringku lihat selama ini. Yang lebih penting lagi, Abina juga menjelaskan maksud tulisan itu. Bahwa kita tidak boleh sombong dan bangga dengan apa yang kita miliki di dunia ini. Semua kembali lagi: Masya Allah Laa Quwwata illa Billah. Semua atas izin allah dan tidak ada kekuatan kecuali atas pertolongan Allah. Semuanya atas kehendak dan izin Allah, bukan karena kepintaran kita atau kehebatan kita. Untuk apa kepintaran kita dan kehebatan kita kalau hati kita tidak sambung dengan Allah?
Terjawab sudah rasa penasarannku terhadap tulisan Masya Allah Laa Quwwata illa Billah yang sering aku lihat banyak terpampang di lingkungan pesantren. Ternyata tulisan itu tidak hanya sekedar hiasan atau tulisan biasa yang tidak ada manfaatnya.
Aku sangat senang dan bersyukur. Meskipun sekedar pengetahuan tentang sepenggal kalimat Masya Allah Laa Quwwata illa Billah, namun hal itu sangat berharga dan berguna bagiku.
Dari situ aku berpikir, taklim atau ngaji sangat bermanfaat bagi kita. Bisa menambah wawasan kita tentang ilmu agama, gratis pula, kita tinggal duduk berbaris rapi dan mendengarkannya dengan baik, di samping juga mendatangkan keberkahan untuk diri kita sendiri.
Wallahu a’lam.
[]

#Pernah dimuat dimajalah alHaromain

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bersyukurlah

Mata dan Tangan